• Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Emas168
  • Purworejo Kota Wisata

    December 12th, 2015
    1. Bedug Pendowo

    Lokasi : Masjid Darul Muttaqin di jalan Mayjen Sutoyo, Kelurahan Sidurjan, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo

    Tahun pembuatan : tahun 1837 M

    Bahan : pangkal (bonggol) pohon jati yang bercabang lima dan kulit banteng

    Asal kayu : Dusun Pendowo, Desa Bragolan, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo

    Ukuran Bedug Pendowo :

    • panjang 292 cm
    • diameter bagian depan 194 cm
    • diameter bagian belakang 180 cm
    • keliling bagian depan 601 cm
    • keliling bagian belakang 564 cm

    Tiket masuk : – (hanya dikenakan tarif parkir sebesar Rp 2.000,00)

    Masjid Darul Muttaqin berada di jalan Mayjen Sutoyo, Kelurahan Sindurjan, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo terletak tepat di sebelah barat alun-alun Purworejo dibangun pada tahun 1834 M. Setelah beberapa kali mengalami renovasi, saat ini bangunan dan serambi masjid memiliki daya tampung sebanyak 2.000 orang. Masjid ini memiliki berbagai fasilitas yang membuat nyaman umat muslim yang beribadahdi rumah Allah tersebut, diantaranya adalah tempat parkir yang luas, papan informasi masjid, tempat wudhu, serta toilet yang bersih.

     

     

     

     

     

     

     

    Awal mulanya, Cokronagoro I sangat menginginkan memiliki sebuah bangunan Masjid Agung di tengah kota sebagai pusat kegiatan ibadah sekaligus memberikan ciri Islamiyah pada Kabupaten Purworejo yang dipimpinnya. Maka di sebelah barat alun-alun kota Purworejo yang berdekatan dengan kediaman (pendopo) Bupati , didirikanlah Masjid Agung Kadipaten yang sekarang bernama Masjid Darul Muttaqien. Masjid ini dibangun pada hari Ahad, tanggal 2 bulan Besar Tahun Alip 1762 Jawa, bertepatan dengan tanggal 16 April 1834 M, seperti tercantum pada prasasti yang terpasang di atas pintu utama masjid yang berada di Desa / Kelurahan Sindurjan.

    Untuk membangun masjid ini tampaknya Cokronagoro I tak ingin asal jadi. Ia meminta para ahli untuk mendapatkan kayu terbaik sebagai bahan utama pendirian masjid. Dibangun dengan gaya arsitektur Jawa berbentuk Tanjung Lawakan lambang Teplok yang mirip Masjid Agung Keraton Solo, bahan-bahan untuk membuat tiang utama masjid ini berasal dari kayu jati bang yang mempunyai cabang lima buah dengan umur ratusan tahun dan diameter lebih dari 200 cm dan tingginya mencapai puluhan meter.

    Di atas tanah seluas kurang lebih 8.825 m2 masjid ini akhirnya berdiri megah di pusat kota Purworejo sebagai setra kegiatan dakwah dan ibadah muslim. Kemegahan masjid tak ada gunanya tanpa banyaknya jumlah jamaah sebagai syarat utama memakmurkan masjid. Untuk itu, dipikirkan sarana “ mengundang “ jamaah hingga terdengar sejauh-jauhnya lewat tabuhan bedug sebagai tanda waktu sholat menjelang adzan dikumandangkan ( saat itu belum ada alat pengeras suara ).

    Sekali lagi Cokronagoro I memerintahkan pembuatan Bedug dengan ukuran sangat besar dengan maksud agar dentuman bunyi bedug terdengar sejauh mungkin sebagai panggilan waktu sholat umat muslim untuk berjamaah di masjid ini.Raden Patih Cokronagoro bersama Raden Tumenggung Prawironagoro ( Wedono Bragolan ) yang juga adik dari Cokronagoro I menjadi pelaksana tugas membuat Bedug Besar itu. Sama seperti bahan pembuatan masjid yang menggunakan kayu jati pilihan , bedug besar ini pun disepakati dibuat dari pangkal ( bonggol ) kayu jati bang bercabang lima ( dalam ilmu bangunan Jawa/Serat Kaweruh Kalang, disebut pohon jati pendowo ). Daerah tempat pohon jati ini berasal adalah Dusun Pendowo, Desa Bragolan, Kecamatan Purwodadi.

    Konon, pohon jati yang digunakan untuk membuat bedug ini sebelumnya dianggap sebagai pohon keramat yang tak boleh ditebang. Namun karena Islam tak mengenal tahyul, dan atas perintah Bupati, maka pohon jati yamg telah berusia ratusan tahun itu ditebang juga. Kyai Irsyad seorang ulama dari Loano yang juga dipanggil Mbah Junus akhirnya berhasil menebang sekaligus mematahkan mitos keramat pohon jati tersebut.

    Berbagai kendala harus dilalui sehingga memakan waktu pengerjaan yang cukup lama. Para ulama dan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan karya agung ini senantiasa berdoa agar mendapat ridlo dari Alloh SWT. Akhirnya pada tahun 1837, bedug terbesar di dunia ini rampung dibuat dan diletakkan di dalam Masjid Agung Kabupaten Purworejo ( sekarang Masjid Darul Muttaqien ) yang ditabuh menjelang adzan sebagai tanda waktu sholat.

    Hingga sekarang warisan karya sejarah Islam ini terpelihara dengan baik dan tetap ditabuh sesuai fungsinya sebagai tanda waktu sholat. Para pengunjung seperti tak pernah surut mendatangi Masjid Darul Muttaqien, menyaksikan dari dekat bedug raksasa yang telah dicatat sebagai situs sejarah yang turut memberikan makna bagi perkembangan Islam di tanah Jawa.

    1. Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Purworejo

    Lokasi : jalan Urip Sumoharjo No.24

    Tahun berdiri : 1879 M

    Arsitektur bangunan: gaya Eropa beratap pilar dan pilaster gaya Yunani (neoghotic)

    Luas tanah : 1.450 m2

    Spesifikasi ukuran bangunan:

    • Teras gereja 1,5m x 3m
    • Bangunan utama 8m x 23m
    • Ruangan mimbar 1,3m x 1,8m
    • Ruang tarnsit 3m x 3m
    • Tinggi lonceng 15m

    Dilihat dari struktur bangunannya, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu bangunan utama dan bangunan pelengkap. Atap bangunan berbentuk pelana dengan kemiringan 50 derajat, tanpa tritisan. Konstruksi atap kuda-kuda dari kayu jati dengan penutup atap genteng flams. Kuda-kuda berjarak 3 meter menumpu pada pilar tembok ukuran 60 x 60 cm, dan dinding setebal 30 cm dengan ketinggian beberapa meter dari lantai. Di atas tembok sisi utara dan selatan terdapat talang kantong gorong-gorong air, dan pralon.  Langit-langit bangunan utama terbuat dari kayu jati berada di bawah kuda-kuda. Secara structural, bangunan utama terdiri dari satu ruangan dengan satu buah pintu utama dan lima buah pintu penghubung serta sebagai penerangan terdapat delapan buah jendela. Jendela berbentuk lengkung lancip pada puncaknya. Secara fungsional bangunan utama memiliki tiga ruangan, yaitu ruang mimbar, ruang jemaat, dan ruang transit. Ruang mimbar berlantai tegel “gelar” abu-abu setinggi 80 cm dari lantai jemaat. Pembatas mimbar berupa dinding dari papan jati setinggi satu meter. Di depan mimbar, selebar ruang utama dibuat altar dengan ketinggian 40 cm dari lantai ruang jemaat.

    Ruang jemaat memiliki ketinggian 60 cm dari tanah halaman. Lantai terbuat dari peluran yang dibuat nat-nat interval 53 cm. Sedangkan, ruang transit merupakan sebuah ruangan berdenah ukuran 3 x 3 meter dengan dinding papan jati dengan tiga buah pintu. Ruang transit terletak di sebelah dalam pintu utama.

    Selain itu, di gereja tersebut juga terdapat bangunan sarana yang terdiri dari tempat ganti pendeta dan kantor pengurus gereja. Letak bangunan sarana di sbelah timur bangunan utama. Bangunan sarana mempunyai atap berbentuk limasan di sisi timur  dan pelana di sisi barat (menempel pada tembok utama). Konstruksi atap menggunakan kuda sedukan dengan penutup atap berupa genteng flams ditahan oleh tembok setebal 30 cm setinggi 4 meter.

    Struktur ruangan sarana dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sisi timur berdenah ukuran 5 x 8 meter sebagai ruang kantor. Lantai ruangan dari tegel abu-abu, di dinding utara dan selatan terdapat dua buah jendela, salah satu jendela (jendela sisi selatan) diturunkan letaknya dan dialihfungsikan sebagai pintu penghubung ruang kantor dengan rumah pendeta. Pada dinding timur terdapat pintu keluar menuju ke selasar belakang bangunan. Langit-langit ruangan ditutup dengan eternit yang menempel pada usuk mengikuti kemiringan atap. Di atas ruang ganti pendeta, terdapat loteng yang difungsikan sebagai gudang. Untuk naik ke loteng menggunakan tangga kayu yang masih difungsikan sampai sekarang.

    Setelah melalui perjalanan yang “tidak mudah”, dimulai dari pewartaan Injil oleh Christina Petronella atau Nyonya Phillips (semenjak menikah dengan Carolius Phillips) hingga Ds. L. Andriaanse (1895), jemaat ini mengalami berbagai perubahan yang disebabkan oleh ambisi-ambisi manusiawi para pimpinannya. Jemaat kota Purworejo memilih tetap dalam asuhan Zending. Sehubungan dengan itu, pada tanggal 28 Januari 1900 Ds. L. Andriaanse dalam kebaktian minggu di rumahnya di Plaosan, menetapkan jemaat Purworejo sebagai jemaat mandiri di bawah asuhan Gereja Gereformeede Nederland, yang mengutus Ds. L. Andriaanse sebagai pendeta utusannya. Maka untuk Jawa Tengah bagian selatan jemaat ini termasuk jemaat yang tertua.

    Selanjtunya, pada hari Kamis, 1 Februari 1900 Ds. L. Andriaanse mengundang empat orang untuk membentuk Majelis Gereja. Mereka adalah Timotius Reksadimurti, anak Abisal Reksadiwangsa, pembantu Nyonya Phillips. Ia menjadi guru Injil pembantu Ds. L. Andriaanse. Selanjutnya, Yakobus Sapin, guru sekolah Zending di Pangen, pembantu J.P. Zuidema. Dan, yang dua orang lagi bernama Semiyon dan Hakim.

    Majelis Gereja ini diteguhkan dalam Kebaktian Minggu, tanggal 4 Februari 1900 dengan menandatangani 12 Fasal Pengakuan Iman Rasuli sebagai dasar ajaran Gereja. Perlu segera memberitahukan berdirinya gereja tersebut kepada Gereja Pengutus di Utrech, dan minta Ds. L. Andriaanse, pendeta utusan itu untuk membantu gereja tersebut mengajar dan melayani sakramen selama belum mempunyai Pendeta Jawa sendiri. Karena sudah lama tidak ada pelayanan perjamuan kudus, maka ditetapkan tanggal 15 April 1900 bertepatan dengan hari raya Paskah diadakan Perjamuan Kudus.

    1. Alun-alun Kabupaten Purworejo

    Lokasi : Pusat Kota

    Luas : 6 ha (60.000 m2)

    Alun-alun merupakan ruang terbuka yang bisa digunakan sebagai fasilitas umum. Keberadaan alun-alun sebagai simbol otokrasi Jawa Kuno dengan pola tata kota feodal. Alun-alun akan jadi jantung kota, karena untuk pola tata kota otokrasi Jawa Kuno alun-alun selalu berhadapan dengan kraton, rumah tinggal adipati atau bupati. Alun-alun diyakini sebagai simbol kejayaan sebuah negara, kerajaan, kadipaten atau kabupaten.

    Ciri khas pola tata kota Jawa Kuno selalu dengan jantung kota berupa sebuah alun-alun dan ditengahnya berdiri pohon beringin. Di tengah alun-alun Purworejo terdapat sepasang pohon beringin yang didatangkan dari Kraton Yogyakarta. Pendopo Kabupaten Purworejo berada di sebelah utara alun-alun menghadap selatan.

    Disebelah selatan alun-alun dulu menjadi Kantor Karesidenan bagelen dan kini sebagai Kantor Setda Purworejo. Sebelah barat alun-alun terdapat Masjid Agung atau Masjid Darul Muttaqin. Sementara sisi timur berdiri bangunan Gereja. Semua itu merupakan banguan poko yang sejak berdirinya Kabpaten Purworejo sudah dirancang sedemikian rupa oleh RAA Cokronagoro I.

    Pada alun-alun sebelah utara terdapat dua bangunan atau paseban yang berfungsi sebagai tempat beristirahat bagi orang yang ingin menghadap bupati. Sekarang paseban sebelah barat digunakan sebagai kantor KNPI dan sebelah timur untuk kantor KONI. Sejak awal berdirinya Kabupaten Purworejo sampai sekarang pola tata kotanya tidak mengalami perubahan.

    Pola tata kota Purworejo masih pola tata Jawa Kuno. Pola tersebut mempunyai kekhususan yang sampai sekarang sulit dicari bandingannya. Semua tata letak bangunan semetris. Di belakang Pendopo Kabupaten Purworejo terdapat pula alun-alun kecil yang dulu biasa digunakan untuk latihan Bergodho Jayengsekar atau pasukan pengamanan bupati.

    Kini lapangan atau alun-alun kecil tersebut menjadi milik Garnisun dan bisa digunakan untuk kepentingan umum. Seperti diketahui, Purworejo dulu kota administrative yang dengan sendirinya jauh lebih ramai dibanding dengan kota-kota lain yang berada di Karesidenan Bagelen. Namun sejak 1 Agustus 1901 Karesidenan Bagelen terhapus dan kedudukan Purworejo sebagai kota administrative terhapus pula.  Purworejo kemudian menjadi regent atau kabupaten biasa. Meski kedudukan sebagai kota administrative sudah terhapus, namun tetap saja alun-alun dan sebagainya tidak berubah. Alun-alun purworejo kini menjadi ruang publik sehingga siapapun bisa memanfaatkan.

    1. Petilasan WR Supratman

    Desa Somangari terletak 12 Km sebelah tenggara kota Purworejo. Lokasinya berada di pinggang gunung, sehingga jalan raya menuju desa itu berkelak-kelok dan turun naik di antara jurang-jurang nan dalam. Sebelum tahun 1970 masuk desa tersebut harus dengan jalan kaki, karena kendaraan umum hanya sampai Desa Kemanukan, 5 Km sebelah barat Somangari. Dan siapa menduga, desa yang sepi “adoh ratu cedhak watu” tersebut 108 tahun lalu telah mengukir sejarah indah. Almarhum WR Soepratman yang menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya di tahun 1924, lahir di desa tersebut pada hari Kemis Wage, 19 Maret 1903. Desa Somangari kini sudah lumayan ramai, menikmati listrik sejak tahun 1985-an. Penduduknya yang berjumlah sekitar 3.000 jiwa (800 KK) itu bekerja sebagai petani, mengurus kebon manggis, duren, dan langsep. Saban musim panen tiba, buah-buahan Somangari dipasarkan ke Pasar Baledana, Purworejo, juga termasuk sejumlah kota semisal Semarang, Purwokerto, Surabaya dan Jakarta. Angkutan umum kini sampai di depan kantor Lurah. Dukuh Trembelang tempat petilasan WR Supratman kini juga sudah bisa dilewati mobil, jalannya telah beraspal. Namun untuk menuju ke monumen rumah kelahirannya, mobil hanya bisa parkir depan gapura. Selanjutnya harus ditempuh dengan jalan kaki, lantaran jalanan menanjak dan berkelok-kelok sepanjang 500 meter.

    Napak Tilas Rumah Kelahiran WR Supratman

    Tak banyak yang tahu bahwa pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya ternyata lahir di sebuah desa terpencil di wilayah Kabupaten Purworejo. Beberapa tahun sebelumnya, tempat dan tanggal lahir WR Supratman pernah menjadi kontroversi karena beberapa dokumen kelahiran WR Supratman menyebutkan bahwa WR Supratman lahir di Jatinegara. Tetapi berdasarkan penelitian sejumlah pakar sejarah Purworejo, pada 29 Maret 2007 PN Purworejo menetapkan bahwa WR Supratman lahir di Desa Somongari, Kaligesing, Purworejo.

    Untuk melacak kebenaran sejarah Kompas TV melakukan napak tilas dengan mengunjungi Rumah Kelahiran WR Supratman di Dusun Ereng Trembelang, Desa Somangari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo. Perjalanan menuju lokasi tersebut relatif sulit karena harus ditempuh dengan kendaraan roda dua melewati jalan yang berliku dan sesekali menanjak.

    Sesampai di gerbang desa, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sampai ke lokasi . Rumah petilasan itu sekarang dijaga oleh Sriyadi yang sehari-hari bekerja sebagai petani nira.

    Dalam rumah itu kita bisa menyaksikan beberapa dokumen serta uraian sejarah kelahiran Supratman, termasuk silsilah keturunan Supratman. Dari beberapa dokumen yang kita baca di rumah tersebut dapat kita ketahi bahwa Supratman ternyata tidak menikah sampai akhir hayatnya. Karena itu rumah ini biasanya menjadi objek sejarah para pelajar di Purworejo sekitarnya. Biasanya, petilasan ini ramai dikunjungi pada saat hari libur atau bulan Agustus.

    Sriyadi (60) mengungkapkan bahwa sebelum dibeli oleh Pemkab Purworejo, petilasan WR Supratman merupakan tanah warisan keluarga istrinya. Sebelum direhap rumah kelahiran Supratman merupakan rumah bambu yang beratap daun tebu. Tetapi oleh Pemeritah Kabupaten Purworejo, rumah tersebut diubah mejadi rumah kayu. Bahkan salah satu sudut rumah yang diyakini sebagai tempat “ari-ari”, yang semula hanya dipasangi “kendhil” sudah dibangun cungkup (rumah kecil).

    Supratman merupakan anak dari seoran g tentara bernama Senen, sersan di Batalyon VIII. Tahun 1914, Soepratman ikut salah satu saudara perempuannya yang bernama Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh kakak iparnya yang bernama Willem van Eldik yang juga merupakan guru musiknya.

    Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Merasa tertantang, Soepratman kemudian menggubah lagu kebangsaan dan tahun 1924 lahirlah “Indonesia Raya”. Namum lagu tersebut baru dikumandangkan pada saat penutupan Kongres Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

    1. Goa Seplawan

    Lokasi : Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo

    Ditemukan : tahun 1979

    Jam buka : 08.00 WIB-17.00 WIB

    Tiket masuk : Rp 3.000,00

    Tarif parkir : Rp 2.000,00

    Fasilitas : area parkir, toilet, mushola, food court.

    Keindahan goa seplawan dengan panjang lebih dari 750 meter. Berada di ketinggian sekitar 900 mdpl pegunungan menoreh selain menawarkan keindahan pesona alam bawah tanah juga pemandangan alam pegunungan sejuk nan indah. Goa Seplawan di Desa Donorejo. Goa seplawan terletak di pegunungan menoreh yang membentang dari kecamatan Bagelen Purworrejo hingga kabupaten Magelang. Dan goa seplawan masuk wilayah kabupaten Purworejo Jawa Tengah dan di sebelah timur berbatasan langsung dengan kabupaten Kulonprogo Yogyakarta.Lokasi Goa Seplawan Tepatnya berada di desa Donorejo kecamatan Kaligesing Purworejo Jawa Tengah. Memasuki kawasan wisata Goa Seplawan, hawa sejuk begitu terasa disini.  Lokasi goa seplawan berada tak jauh dari area parkir, pengunjung cukup berjalan beberapa meter saja. Sebelum memasuki goa seplawan, pengunjung akan disuguhi patung besar replika arca emas Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Dulu, Sekitar tahun 1979 bersamaan ditemukannya goa Seplawan kala itu ditemukan pula patung emas dan berdasarkan identifikasi ahli sejarah waktu itu merupakan patung Dewa Siwa dan Parwati.

    Saat ini patung tersebut disimpan di museum Nasional Jakarta dan sebagai tanda ditemukan benda bersejarah maka dibuat patung replika. Dengan ditemukannya patung tersebut menandakan bahwa goa seplawan mempunyai nilai sejarah yang tinggi. Untuk Selusur goa seplawan bisa dilakukan oleh siapa saja karena sangat aman dan mudah tanpa peralatan khusus. Di dalam goa sudah tersedia lampu penerangan yang menerangi sepanjang jalur wisata goa seplawan.  Untuk menuju mulut goa harus melewati jalan paving yang melingkar dan menurun. Untuk menuju goa pengunjung harus menuruni tangga yang tersedia. Berada di mulut goa anda sudah merasakan keajaiban alam berupa stalaktit dan stalakmit yang beraneka ragam nan indah. Berjalan beberapa meter pengunjung akan mendapati sebuah kolam dengan airnya yang jernih. Perjalanan tidak berhenti disini, karena ini baru awal. Untuk melanjutkan selusur goa seplawan, pengunjung harus naik tangga kecil dan masuk lorong goa yang bisa dilalui  satu orang saja. Namun setelah melewati lorong tersebut, pengunjung akan melihat keindahan goa seplawan. Pengunjung akan terkagum-kagum karena ternyata goa seplawan memiliki diameter yang besar dan memanjang sepanjang lebih dari 700 meter.

    Goa seplawan ini memiliki jalur buntu, karena tidak ada tembusan ke titik tertentu. Jadi untuk keluar goa harus jalan balik dan keluar melalui pintu masuk. Goa ini memiliki cabang-cabang yang banyak, dan cabang-cabang tersebut tidak disediakan lampu penerangan karena beberapa jalur tersebut berupa goa vertikal dan ada juga yang berlumpur sehingga sering disebut istana lumpur. Untuk memasuki cabang goa tersebut harus membawa alat penerangan sendiri dan harus dengan pemandu. Selain keindahan goa alam sendiri, pemandangan alam di kawasan juga sangat indah. Anda bisa melihat kota Jogja dari gardu pandang goa seplawan. Dari gardu Pandang bisa juga melihat waduk Sermo yang terletak di Kulonprogo. Bahkan jika naik kepuncak sisi kanan dari gardu Pandang, jika cuaca cerah  bisa menyaksikan 5 gunung sekaligus yaitu Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Slamet, gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

     

    Sumber :

    http://kekunaan.blogspot.co.id/2012/09/gpib-purworejo.html

    http://cokronagoro.blogspot.co.id/2012/02/alun-alun-purworejo.html

    http://www.njogja.co.id/wisata-alam/goa-seplawan-keindahan-panorama-bawah-tanah-di-pegunungan-menoreh/

    http://bloggerpurworejo.com/2011/08/mengenang-alm-wr-soepratman-pencipta-lagu-%E2%80%9Cindonesia-raya%E2%80%9D/

    Leave a Reply


  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO
  • PADANGTOTO